الْبِرُّ حُسْنُ الخُلُقِ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلی الله عليه و سلم فَقَالَ: جِئْتَ تَسْأَلُ عَنِ الْبِرِّ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: اسْتَفْتِ قَلْبَكَ، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ حَدِيثٌ حَسَنٌ رَوَيْنَاهُ فِي مُسْنَدَي الإِمَامَيْنِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَالدَّارِمِيِّ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
Daripada al-Nawwas ibn Sam’aan r.a. daripada Nabi SAW baginda bersabda:Kebajikan itu ialah keelokan budi pekerti dan dosa itu ialah apa yang tergetar dalam dirimu dan engkau benci orang lain mengetahuinya. (Hadis riwayat al-lmam Muslim.)
Dan daripada Waabisoh ibn Ma’bad r.a. beliau berkata: Aku telah menemui Rasulullah SAW lalu Baginda bersabda:
Engkau datang mahu bertanya tentang kebajikan? Aku berkata: Ya. Baginda bersabda: Mintalah fatwa dari hatimu. Kebajikan itu ialah suatu perkara yang diri dan hati merasa tenang tenteram terhadapnya, dan dosa itu itu ialah suatu perkara yang tergetar dalam dirimu dan teragak-agak di hati, sekalipun ada orang yang memberikan fatwa kepadamu dan mereka memberikan fatwa kepadamu. (Hadis Hasan riwayat al-lmam Ahmad dan al-Daarimie dengan isnad yang baik.)
Di antara kandungan hadits Arba’in Nawawiyyah yang ke-27 ini, adalah penjelasan Rasulullah bahwa seorang sahabatnya, Wabishah bin Ma’bad ra, diperintahkan beliau saw untuk berfatwa kepada hatinya,iaitu mengikuti “suara” hatinya tersebut dan meninggalkan fatwa-fatwa yang diberikan oleh orang lain. Dan bahawasanya “suara” hatinya itu merupakan kayu ukur baginya untuk menilai apakah sesuatu itu merupakan kebajikan atau merupakan dosa.
Jika hatinya merasa tenang, nyaman, tenteram dan mantap, tidak ada keraguan, tidak ada bolak balik dan tidak ada kekhawatiran atau ketakutan bila terlihat oleh orang lain, maka hal itu merupakan kebajikan. Sementara, jika terjadi sebaliknya, maka itu pertanda bahwa perkara yang akan dia lakukan itu adalah dosa.
Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah: Dan dari Wabishah bin Ma'bad ra, ia berkata, "Saya mendatangi Rasulullah saw, lalu beliau bertanya, 'Engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan?' Saya menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, 'Mintalah fatwa kepada hatimu; kebajikan adalah sesuatu yang jiwamu tenteram kepadanya dan hatimu menjadi tenang, dan dosa adalah sesuatu yang mengganjal di dalam jiwa dan ragu di dada, meski manusia memberi fatwa kepadamu.” (Imam Nawawi berkata, "Hadits hasan, kami meriwayatkannya dalam dua kitab Musnad; Ahmad bin Hanbal dan Ad-Darimi dengan isnad hasan.")
Tiga Macam Hati
Hadits Wabishah bin Ma’bad ra secara lahiriah dipahami bahwa fatwa “suara” hati lebih dikedepankan daripada fatwa mufti.
Lantas, perlu diketahui pula bahawa berdasarkan kajian terhadap Al-Qur’an ataupun hadits Rasulullah, dapat disimpulkan ada tiga macam hati, iaitu:
1. Al-Qalbu Al-Salim (hati yang sehat)
Secara harfiyah (lateral) istilah qalbun salim disebut dua kali dalam Al-Qur’an, dan keduanya terkait dengan cerita Nabi Ibrahim as, yaitu pada QS Asy-Syu’ara (26): 89 dan QS Ash-Shaffat (37): 84.
Ibnul Qayyim rahimahullah mendefinisikannya sebagai berikut, “Iaitu hati yang selamat dari segala syahwat yang menyalahi perintah dan larangan Allah swt, yang selamat dari segala bentuk syubhat yang menjadikannya menentang segala berita dan informasi yang datang dari Allah, sehingga hati tersebut selamat dari penghambaan kepada selain Allah, juga selamat dari bertahkim kepada selain Rasulullah.”
Masih menurut Ibnu Qayyim, “Secara global, hati yang salim yang shahih adalah hati yang selamat dari segala bentuk penyekutuan (syirik) dalam bentuk apa pun kepada selain Allah serta tulus murni semata-mata menghambakan diri kepada Allah, baik dalam hal kehendak, tawakal, cinta, kembali, tunduk, khusyu, takut dan harap.”
Hati yang seperti ini disebutkan Rasulullah sebagai hati yang putih, bersih, bening nan jernih. Sebentuk hati yang jika berhadapan dengan fitnah, ujian, cobaan dan godaan apa pun—baik fitnah yang berupa ancaman, siksaan, penderitaan dan semacamnya, maupun fitnah dalam bentuk godaan, iming-iming, harta, wanita dan tahta—ia tidak akan bergeming, tergoda maupun goyah atau limbung. Ia tetap dalam keimanan, keislaman dan keistiqamahannya.
Rasulullah bersabda, “Berbagai macam fitnah akan dihadapkan kepada hati, seperti tikar, anyamannya satu satu. Maka, hati yang menyerap fitnah itu akan ternoda hitam dan hati yang menolak fitnah itu akan ditambah sinar kecemerlangannya. Sehingga jadilah hati itu dua macam; ada yang putih seperti batu pualam yang tidak ternoda oleh fitnah apa pun selama masih ada langit dan bumi. Sedangkan lainnya adalah hati yang hitam legam, mirip teko yang tertelungkup, yang tidak lagi mengenal yang ma’ruf dan tidak lagi mengingkari yang munkar selain yang sesuai dengan hawa nafsunya” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim, hadits no. 207).
2. Al-Qalbu Al-Qasi (hati yang keras atau mati)
Maksudnya adalah hati yang keras atau mengeras. Istilahnya dalam Al-Qur’an qasat qulubuhum, sebagaimana terdapat dalam QS Al-An’am (6): 43, atau QS Al-Hadid (57): 16. Hati yang seperti ini juga disebut oleh Al-Qur’an sebagai Al-Qalbu Al-Mayyit (hati yang mati), sebagaimana diisyaratkan dalam QS Al-An’am: 122.
Ibnul Qayyim rahimahullah mendefinisikannya, “Hati yang menghambakan diri kepada selain Allah swt, baik dari sisi cinta, takut, harap, ridha dan benci; jika ia membenci sesuatu, ia membencinya karena hawa nafsunya, jika ia mencintai sesuatu, ia mencintainya karena hawa nafsunya, jika ia memberikan sesuatu karena hal itu sesuai dengan hawa nafsunya, jika ia menahan sesuatu dan tidak memberikannya, hal itu ia lakukan karena hawa nafsunya.”
Ibnul Qayyim melanjutkan, “Jadi, hawa nafsu adalah imamnya, dan syahwat adalah komandannya, kebodohan merupakan sopirnya, dan ghaflah (lalai dari Allah swt) adalah kendaraannya.”
Hati yang seperti ini, oleh hadits Rasulullah saw, seperti tersebut tadi, dinyatakan sebagai hati yang hitam legam, tidak lagi mengenal al-ma’ruf sebagai ma’ruf dan tidak lagi mengingkari yang munkar. Ia hanya mengikuti hawa nafsunya.
3. Al-Qalbu Al-Maridh (hati yang sakit)
Pada dasarnya, hati yang sakit adalah hati yang masih memiliki kehidupan, hanya saja ia terhinggapi penyakit. Parah atau tidaknya kondisi hati ini bergantung kepada tingkat penyakit yang menghinggapinya.
Hati yang seperti ini oleh Al-Qur’an diistilahkan dengan fi qulubihim maradhun (di dalam hatinya terdapat penyakit), sebagaimana disebut dalam QS Al-Baqarah (2): 10, QS Al-Maidah (5): 52, QS Al-Anfal (8): 49 dan sebagainya.
Terkait dengan hal ini, Ibnul Qayyim menjelaskan, “Pada dasarnya, di dalam hati yang sakit ini terdapat cinta kepada Allah swt dan keimanan kepada-Nya, dan hal ini merupakan daya hidupnya. Namun, di dalam hati ini pun terdapat kecintaan terhadap segala bentuk syahwat dan ambisi untuk memperolehnya, padahal hal ini merupakan rahasia kehancuran dan kebinasaannya.”
sumber halaqah.net
kembalilah kita menyembah ,meminta ,mengharap ,bergantung hanya kepada ALLAH SWT semata mata
janganlah kita menyekutukanNya walau dengan apa sekali pun hatta dengan diri kita sendiri
dan tingkatkanlah tauhid kita kepada ALLAH SWT
dengan memperbanyakkan mengingati ALLAH SWT samada dengan zikrullah ,menunaikan perkara perkara sunat atau solat dengan ikhlas
wallahhualam
in sya allah ...
0 comments:
Post a Comment